Berawal
dari rapat pembentukan panitia Pentas Parade Drama, kisah ini dimulai. Di
sebuah organisasi teater, aku adalah anggota dari sie kreativitas & produktivitas.
Anggota dari sie ini dianjurkan untuk menjadi pimpro (pimpinan produksi) di
setiap kegiatan, terutama dalam program kerja di teater kami yaitu pentas parade
dan pentas tunggal. Pentas parade adalah pentas yang menampilkan lebih dari
satu drama pendek dengan durasi 15 sampai 20 menit. Sedangkan pentas tunggal sesuai
dengan namanya “tunggal” yang berarti satu. Pentas tunggal hanya menampilkan
satu drama tapi durasinya lama, yaitu satu sampai 2 jam. Tidak hanya anggota sie
kreativitas dan produktivitas saja yang boleh menjadi pimpro, anggota dari
sie lain juga diperbolehkan.
Dimulailah
rapat pembentukan panitia. Yang pertama dicari adalah pimpro. Pimpro akan
memimpin jalannya rapat yang akan diadakan selanjutnya selama proses produksi
drama dibuat. Semua mata tertuju pada anggota sie kreativitas dan
produktivitas. Jumlah anggota sie kreativitas dan produktivitas hanya tiga
orang. Satu orang sudah pernah menjadi pimpro, yaitu koordinator sie ini. Jadi,
tinggal dua orang yang belum menjadi pimpro yaitu aku dan seorang temanku. Dari
anggota lain tidak ada yang mau angkat tangan untuk menjadi pimpro. Akhirnya,
aku angkat tangan. Karena sebelumnya ada salah satu dari alumni anggota teater
yang bilang,
”Mana ini anggota sie kreativitas dan
produktivitas? Takut ya jadi pimpro? Nggak berani? Atau anggotanya nggak ikut
rapat?”
Oleh karena itu, berani nggak berani aku
harus mau jadi pimpro. Akhirnya kakak alumni itu tersenyum dan bilang, “semangat
ya, hebat, jangan takut”. Aku hanya tersenyum sambil menahan suara jantungku
yang berdetak kencang, jantungku berdebar-debar karena ada rasa takut dan tidak
percaya diri. Pembentukan panitia selesai, pimpro (aku) maju ke depan mengambil
alih pimpinan. Aku berjalan perlahan dengan jantung yang berdetak kencang. Kali
pertama menjadi ketua rapat, aku dibantu ketua umum untuk menjelaskan
tugas-tugas panitia. Misalnya, sie acara bertugas membuat konsep acara pentas
parade, sie konsumsi bertugas menyiapkan segala keperluan konsumsi selama
proses latihan dan terutama pada hari dilaksanakannya pentas, dan ketua umum
juga menjelaskan tugas-tugas panitia yang lain sesuai dengan ketentuan. Aku
hanya mendengarkan dan mencoba memahami karena aku belum mengerti sama sekali
bagaimana kegiatan selanjutnya setelah panitia terbentuk. Rapat selesai,
ditutup dengan ucapan hamdalah dan seperti biasanya seluruh anggota mengucapkan
moto kami, ”Kesadaran adalah matahari. Kesabaran adalah bumi. Keberanian
menjadi cakrawala. Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. (W.S. Rendra).”
Moto ini selalu kami ucapkan setelah selesai latihan maupun rapat sambil menggenggam
tangan antara satu dengan yang lainnya untuk mengukuhkan tali persaudaraan yang
telah terikat di dalam kebersamaan anggota teater dan menyalurkan energi
semangat.
Waktu
demi waktu kulalui, aku masih benar-benar bingung tentang apa yang harus kulakukan.
Setiap pergi ke sanggar (basecamp organisasi teater), aku mencari tahu dengan
bertanya kepada alumni, kakak-kakak yang lebih dulu ikut teater, ketua umum,
dan membuka file-file lama di komputer. Ketika bertemu dengan alumni yang
kadang-kadang masih mampir di sanggar, mereka memberikan semangat dan nasihat
padaku. Ada yang bilang, jadi pimpro jangan sampai lupa makan dan jaga
kesehatan karena pasti akan banyak pikiran. Ucapannya semakin membuatku
berdebar, tapi sebisa mungkin aku akan berusaha melaksanakan tugas sebagai
pimpro. Kumulai dengan membuat target mengenai pembuatan proposal, perkiraan
proposal di acc oleh lembaga, target semua agenda rapat selanjutnya, konsep
kegiatan, dll. Semua itu terkadang membuatku pusing meskipun sudah dibantu oleh
ketua umum. Sampai tugas kuliah kukerjakan ala kadarnya, tidak maksimal sama
sekali. Mengorbankan waktu dan tugas kuliah tidak membuat pusingku hilang dan
aku masih belum putus asa untuk melanjutkan agenda-agenda menuju pentas parade.
Dihadapan orang lain, khususnya teman-temanku aku tidak menunjukkan betapa
pusingnya saat itu. Yang kutunjukkan adalah senyum dan seolah semangat berjuang
tanpa pantang menyerah.
Latihan
rutin dimulai, kelompok dibagi menjadi lima. Harapan kami, pentas ini akan
menampilkan lima drama. Satu kelompok terdiri dari lima sampai enam orang (dua
sutradara dan tiga sampai empat anggota). Kami berkumpul bersama kelompok
masing-masing untuk bedah naskah. Bedah naskah merupakan kegiatan awal untuk
mengetahui keseluruhan isi dan maksud dari naskah itu sendiri. Kemungkinan
tidak terlalu sulit untuk membedah karena yang membuat naskah adalah pelatih
kami. Biasanya naskah dibuat sesuai dengan latar belakang dan kehidupan
sehari-hari. Bila kami masih bingung atau kesulitan dalam mencari maksud naskah
itu, kami bisa bertanya langsung pada nara sumbernya. Awal dari proses ini, aku
dan anggota kelompok berjanji dalam hati masing-masing untuk bersama-sama
memainkan naskah ini sampai hari dimana pentas tiba. Kami berpegang tangan,
mengukuhkan hati, dan berdo’a supaya prosesnya lancar.
Hari
pertama latihan hanya satu anggota yang datang. Jadi, kami hanya bertiga
membaca naskah pendek ini. Hari kedua, semua masuk latihan. Hari ketiga, satu
orang tidak latihan. Hari keempat, kelima, keenam, ketujuh, dan seterusnya
seperti itu. Mereka tidak menepati janji. Kadang-kadang latihan, kadang-kadang
tidak, dan semakin lama kami tinggal bertiga saja seperti hari pertama latihan.
Tragedi ini ternyata juga terjadi di kelompok lain. Ada satu kelompok yang
sebenarnya membutuhkan pemain lebih dari enam orang, tapi pemainnya tidak
memiliki komitmen yang kuat untuk mementaskan naskah itu. Mereka selalu
memiliki alasan untuk tidak latihan. Misalnya, banyak tugas, jadwal latihan
bertepatan dengan waktu kerja, dll. Akhirnya, satu naskah dibatalkan. Kelompok
menjadi empat. Sisa anggota dari kelompok yang gagal pentas dimasukkan ke dalam
kelompok-kelompok lain. Hal itu sangat membantu jalannya proses latihan. Ada
yang double casting, yaitu berperan ganda dalam dua naskah untuk saling
membantu dan menutupi kekurangan pemain.
Perdebatan,
gesekan, kesalahpahaman, dan ketegangan selalu terjadi. Aku selalu berusaha
bersikap tenang dalam kondisi seperti apapun juga. Meskipun pernah sewaktu
ketika satu ucapan membuatku terasa jatuh dalam lubang yang dalam. Dia berkata,
“awas kau sampai di pentas masih cengengesan, kulempar sandal dari tempat
penonton.” Sesekali aku bersikap seperti itu sebenarnya hanya untuk hiburan
semata, tidak berniat cengengesan seperti yang dia bilang. Kesalahan kecil bisa
berdampak besar bila orang lain memiliki penilaian berbeda. Hatiku terasa
tertusuk pisau yang begitu tajam. Selain kata-kata itu, produksi juga tidak
berjalan lancar. Itu karena masing-masing panitia tidak berkomunikasi baik
dengan panitia lain. Seharusnya, komunikasi harus sering dilakukan supaya
produksi tidak memberatkan salah satu pihak. Komunikasi juga bisa mempermudah
untuk saling berbagi kesulitan, saling membantu, dan akhirnya tidak saling
menyalahkan karena panitia tidak bekerja sesuai tugasnya. Sempat aku berpikir,
mungkin ini kesalahanku juga karena aku hanya memberikan semangat melalui sms
tanpa merangkul mereka untuk mengerjakan tugas sesuai dengan porsinya.
Akhirnya, aku sendiri yang kerepotan. Ketua umum pun sudah lelah memberitahuku,
bahwa tugas pimpro itu mengawasi dan mengingatkan kerja dari panitia, tidak
perlu terjun langsung ke lapangan. Kalaupun ikut terjun ke lapangan tidak usah
ngoyo (kerja terlalu keras) karena pimpro dan ketua umum yang nanti bertanggung
jawab atas kerja panitia. Namun, aku tetap turun ke lapangan, pulang ke kost
selalu sore. Pagi kuliah, pulang kuliah mengurus produksi, dan malam latihan.
Terasa remuk badan ini karena kurang istirahat. Ketua umum tidak peduli lagi
padaku karena aku keras kepala seperti itu. Apalagi mengenai pembagian kelompok
yang tersisa tadi. Awalnya, aku dan temanku yang menjadi sutradara menolak
untuk menambah pemain. Kami mengira bahwa hanya berempat saja sudah cukup, tapi
ternyata kami tinggal bertiga. Ketua umum semakin sebal denganku. Karena
sikapku dan temanku seolah acuh dan tidak membutuhkan pemain tambahan. Aku
merasa bersalah padanya. Dia sebal dan tidak memperdulikan aku lagi. Ketika
bertemu, dia acuh, tidak menyapa sama sekali, dan cenderung mengabaikanku. Aku
masih tak peduli dengan sikapnya, tapi temanku yang tahu permasalahan ini
menasehatiku untuk mengalah dan minta maaf kepada ketua. Pertamanya terasa
berat untuk minta maaf, tapi kuputuskan sms minta maaf untuk memperbaiki
hubungan kekeluargaan di organisasi teater dan menjaga kondisi supaya membaik. Ketua
umum memaafkan aku. Dia tidak marah lagi dan mau membantuku melanjutkan proses
produksi. Sebenarnya pasti dia kasihan padaku. Selain menjadi pimpro, aku juga
menjadi sutradara dan pemain utama. Akan tetapi, aku belum menyadari hal itu.
Aku
ingin merubah sikapku. Sikap yang cuek dan cenderung tidak peduli pada orang
lain. Tapi di sisi lain, sikap inilah yang selama ini membantuku mengatasi segala
masalah. Sikapku cuek, tapi diam-diam aku mencari solusi untuk menyelesaikan
segala permaslahaku tanpa ada yang tahu dan sikap tidak peduli pada orang lain
ini karena aku tidak suka ikut campur urusan pribadi orang lain. Kecuali dia
datang sendiri padaku dan berbagi cerita, pasti aku akan mendengarkan dan
mencoba mencari solusi bersama-sama.
Mendekati
pentas, suasana semakin panas. Ada seorang anggota yang tidak ikut berproses
setelah kelompoknya bubar, tapi mendekati pentas dia datang latihan dan ingin
ikut pentas. Dia tidak mau jadi pemain musik, tapi ingin mendapatkan peran atau
menjadi MC. Setelah diputuskan menjadi MC, dia tidak datang latihan lagi.
Padahal sudah kuberi tahu, meskipun kelihatannya jadi MC itu mudah, tapi kalau
tidak sering latihan akan jadi sulit. Dua minggu sebelum pentas, dia tidak
datang latihan sama sekali. Aku memberitahunya, kalau dia serius ingin jadi MC,
satu minggu penuh harus datang latihan. Berbagai alasan dilontarkannya,
membuatku begitu marah tapi aku masih bisa menahan rasa marah ini. Dua hari
sebelum pentas dia baru datang, yaitu ketika gladi resik. Gladi resik sangat
kacau, MC tidak pernah latihan dan para pemain ada yang belum memakai kostum
lengkap. Terasa seperti akan dieksekusi. Aku takut bila pentas ini gagal.
Sebelum pentas, MC baru latihan dengan seorang kakak alumni yang kuminta untuk
membantu. Kakak alumni itu mengeluh padaku, ”ini bagaimana sih dek, kok MC
kayak gini? Apa nggak pernah latihan? Pentas sebentar lagi lho.” Aku
benar-benar bingung. Seorang alumni saja mengeluhkan seperti itu, bagaimana aku
menyikapinya. Apalagi, disini aku berperan banyak. Selain sebagai pimpro, aku
berperan sebagai sutradara, pemain musik di naskah yang lain, dan pemain utama
dalam naskah yang kusutradarai. Beban ini terasa berat jika kurasakan, tapi aku
tetap berusaha supaya pentas ini berjalan lancar. Aku hampir menangis karena
tidak sanggup harus melakukan apa. Akhirnya, MC ini tetap dilatih oleh kakak
alumni dan mereka berdualah yang menjadi MC. Perasaanku sadikit lega karena
persoalan MC sudah selesai.
Detik-detik
menuju pentas pun membuat jantung semakin berdebar. Pukul 19.00 WIB kami membentuk
lingkaran dan brdo’a. Kemudian, berteriak untuk melegakan perasaan. Kami menuju
tempat masing-masing supaya tidak mennganggu keluar dan masuknya pemain di
panggung. Pukul 19.30 WIB penonton sudah begitu banyak yang masuk di dalam
gedung, pentas pun dimulai.
Pentas
Parade Drama berjalan lancar, bisa dikatakan sukses. Apresiasi dari
penonton begitu bagus dan memuaskan. Jumlah penonton juga melebihi target. Dari
target 200 penonton, tapi yang menonton 300 orang lebih. Ini benar-benar
membuatku tesenyum lebar dan merasa puas. Kerja keras dan pengorbanan selama
proses tiga bulan tidak sia-sia begitu saja. Pentas ini juga merupakan hadiah
terindah yang pernah kudapat karena malam pentas ini adalah malam pergantian
umurku yang ke 20. Tepat tangga 19 Januari 2013 pentas usai, sedangkan 20
Januari adalah hari ulang tahunku. Aku benar-benar senang. Proses menuju pentas
yang membuatku pusing dan hampir setiap hari tidak bisa tidur nyenyak, sekarang
membuatku senang melebihi mendapat kado spesial seperti apapun.
Pelajaran
yang dapat kupetik dari pengalaman ini adalah
·
Bila kamu terus berusaha pasti ada jalan.
·
Tidak ada pengorbanan yang sia-sia, andaikan gagal pasti
keberhasilan itu masih tertunda.
·
Kuatkan tali persudaraan dan jagalah komunikasi.
·
Pekerjaan yang berat akan menjadi lebih ringan jika
dikerjakan bersama-sama.
·
Ikutlah merasakan sakit, bila kamu ingin merasakan
senang.
·
Menjadi seorang ketua atau pemimpin harus bisa memimpin
diri sendiri sebelum memimpin orang lain.
Note: cerita ini sudah dibuat oleh penulis di laman web yang terdahulu, bila anda ingin melihat artikel yang lain klik here